Sebuah Dilema : Kapitalisme Lahirkan Liberisasi Perguruan Tinggi di Tengah Krisis Finansial Global Covid-19

Sebuah Dilema : Kapitalisme Lahirkan Liberalisasi Perguruan Tinggi 
di Tengah Krisis Finansial Global COVID-19


Oleh. Mohamad Andik Ikhsan Setiawan, SE.



            Penyebaran Covid-19 atau dalam istilah sederhana, dilansir dari The Sun, adalah singkatan dari Corona Virus Disease dimana Covid-19 ini pertama kali muncul di tahun 2019. Covid-19 sampai saat ini, di tengah penyebarannya yang semakin hari semakin terus meluas dan statuta virus ini secara resmi pada bulan maret 2020 telah ditetapkan oleh WHO sebagai pandemic Covid-19 masih menjadi topik yang layak untuk diperbincangkan. 
            Secara mengejutkan, hempasan covid-19 menjadi global dan meluas ke berbagai penjuru Negara di belahan dunia lain secara masif terhitung dalam beberapa bulan terakhir semenjak pertama kali gejala virus ini ditemukan di Wuhan, dikutip dari SCMP, berdasarkan catatan pemerintah China, disebutkan pasien pertama yang terinfeksi virus corona merupakan penduduk Hubei berusia 55 tahun pada 17 November 2019. Di tengah penyebaran covid-19 yang sangat cepat dan sudah meluas hingga ribuan, bahkan puluhan ribu kasus positif covid 19, mengakibatkan beberapa Negara membuat kebijakan tertentu untuk menekan angka penyebaran kasus ini. 
            Dikutip dari KEMLU RI di Hanoi, secara tegas per tanggal 18 maret 2020, Pemerintah Vietnam tidak lagi menerbitkan visa untuk semua warga negara asing dan mewajibkan test covid-19 secara ketat serta karantina selama 14 hari bagi WNA yang akan memasuki Negara tersebut. Kebijakan lockdown telah diambil beberapa Negara di dunia untuk menekan kasus COVID-19, sebagai contoh adalah China, Italia dan Perancis. Di Indonesia sendiri, kebijakan lockdown menjadi sesuatu yang dilema etis, antara perekonomian dan keberlangsungan hidup atau nyawa seseorang.  Namun sampai saat ini, pembatasan sosial dan karantina sudah diberlakukan diberbagai daerah yang memiliki kasus covid-19 dengan angka tinggi.
            Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap covid-19 diberlakukan disemua lini dan aspek sosial lapisan masyarakat, tidak terkecuali Pendidikan. Sejak kasus pertama COVID-19 di Indonesia pada bulan maret, Presiden Jokowi, dalam konferensi pers di istana bogor mengatakan ”saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah” dan juga telah mengimbau masyarakat untuk mengurangi aktivitas diluar rumah demi menekan penyebaran virus corona COVID-19 di Indonesia. Dimana sejak saat itu, kegiatan belajar mengajar di institusi Pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi sudah diliburkan selama 14 hari dan berlanjut hingga sekarang menggunakan sistem daring atau melalui seperangkat teknologi tatap muka.

Kapitalisme Lahirkan Liberialisasi Perguruan Tinggi
            Dewasa ini, permasalahan terbesar kita saat ini sudah seharusnya beranjak menuju fase berikutnya, tidak lagi membahas tentang apa dan bagaimana covid-19 itu terjadi. Melainkan dampak, yang muncul atas pandemic tersebut serta solusi atau kebijakan yang harus diambil dengan tepat berlandaskan Pancasila dan Humaniora oleh para pengambil keputusan. Dengan kata lain, semakin kita berkutat dalam fase awal penyebaran pandemic ini, kita akan terlambat berlayar atau dalam artian stuck tidak beranjak, sedang jikalau saja hendak melebarkan mata atas dampak kebelakang dari pandemic ini tentu sangatlah luar biasa dan nyata, khususnya dalam dunia Pendidikan kita saat ini.
            Sebagai gambaran awal dari pembahasan, fungsi perguruan tinggi menurut UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada pasal 4 adalah pengembangan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora. 
            Sejalan daripada itu, Pendidikan tinggi harus menyelenggarakan prinsip pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika; demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa; dan satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna yang mengedepankan keberpihakan pada kelompok Masyarakat kurang mampu secara ekonomi. Secara substansi, fungsi dan prinsip yang telah tertuang pada UU No.12 tahun 2012 tersebut harus selalu berpegang teguh berdasarkan Pancasila, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika atau sejalan dengan apa yang telah dituangkan pada pasal 2.
            Perguruan tinggi merupakan tatanan tertinggi derajat keilmuwan seseorang dikumpulkan, dikosongkan dan kemudian diisi dengan sesuatu hal baru yang disebut dengan sains modern. Mengacu pada UU no.12 Tahun 2012, semakin tinggi derajat keilmuwan seseorang maka akan semakin tinggi pula rasionalisme akal dan budi pekerti, sehingga merepresentasikan Tridharma Perguruan Tinggi yang sebenarnya atau secara hakikat keilmuan memiliki fungsi strategis sebagai agent of change, agent of social control & iron stock. Menurut pencetusnya, Michael Foucault, diskursus dalam ilmu filsafat merupakan konsep berfikir yang akan membangun konsep berfikir. Ide-ide dan gagasan ilmiah dalam berfikir menurut Foucault, akan ditemukan dalam sebuah wadah, salah satunya adalah kelembagaan Pendidikan yang bernama perguruan tinggi.
            Menengok, tidak semudah membalikkan telapak tangan, dalam artian kita sebagai mahasiswa telah melalui fase seleksi untuk dapat menggapai wadah dalam menaungi konsep dan ide-ide berfikir. Salah satu fase seleksi masuk adalah pemberkesan hingga sampai pada fase di mana uang adalah segalanya, sedemikian juta pundi-pundi rupiah digelontorkan untuk saling mewujudkan sesuatu yang menurut Albert Bernhard Frank dan masyarakat sepakati itu sebagai dogma “symbiosis mutualisme” atau secara mutualistik dua kelompok masyarakat memiliki ukuran keuntungan yang sama. 
            Secara logika, benar jika, kerangka berfikir kita dengan ribuan ide dan gagasan terfasilitasi oleh perguruan tinggi sebagaimana jaminan rupiah yang telah terkucurkan, yang tentunya senantiasa membawa Pancasila sebagai dalangnya. Namun tidak ada yang menyangka, aspek Pendidikan kali ini mendapat pukulan yang berarti dari pandemic covid-19. Perkuliahan lumpuh total dan hanya melalui sistem daring, fasilitas perpustakan tidak dapat dirasakan, seluruh area kampus tutup lebih dulu oleh arahan kebijakan pemerintah, parkiran menjadi lapangan kosong dan hanya ada para penjaga seperti halnya sebuah penjara. Apakah itu mengganggu kita sebagai civitas akademika dalam menggapai derajat keilmuan tertinggi? Bisa ya, bisa tidak bagi sebagian orang, namun sesuatu yang menghambat itu pasti. Masa efektif studi dalam satu semester adalah 4 bulan, dimana hal itu terbagi menjadi tengah semester dan akhir semester yang terdiri dari 8 kali pertemuan di masing-masing fasenya. Nilai rupiah kumulatif yang diwajibkan perguruan tinggi adalah respresentasi masa efektif waktu studi tiap semester.

            Ketakanlah, pada tahun ajaran 2019/2020 dan dalam 1 semester, Budi yang sedang menempuh Pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Kota Malang telah memenuhi kewajibannya dalam 1 semester sebesar Rp. 8.500.000 (delapan juta lima ratus ribu rupiah), sehingga ia memiliki hak untuk masa studi 1 semester pada tahun ajaran tersebut yang meliputi belajar mengajar serta fasilitas pendukung lainnya. Namun musibah besar covid-19 melanda berbagai Negara dan berdampak pada segala aspek sosial ekonomi dan salah satunya Pendidikan, yang mengharuskan diberhentikannya kegiatan belajar mengajar Budi yang menyisakan fase akhir semester. Kebijakan tersebut adalah pembatasan sosial yang dilakukan oleh Negara guna mengayomi masyarakat sesuai dengan Pancasila (lagi-lagi). Naasnya, di tahun ajaran tersebut, budi sedang menyusun penelitiannya yang mengharuskan ia terjun langsung pada objek penelitian sebelum melakukan bimbingan secara online dengan dosen pembimbingnya.

            Masalah pertama yang Budi temukan adalah bagaimana ia terjun langsung ke lapangan ditengah kebijakan pembatasan sosial yang dilakukan oleh pemerintah, dan seefektif apa bimbingan dengan dosen pembimbing tentang penelitiannya yang berbasis online atau via email. Masalah kedua, fasilitas perguruan tinggi sangat dibutuhkan oleh Budi sebagai referensi dalam menyusun, serta hal-hal yang bersangkutan dengan birokrasi secara langsung berpengaruh dalam penelitiannya. Belum juga Budi dapat menerka masalah pertama dan kedua, timbul kebijakan perguruan tinggi melalui Surat Edaran No. 3272.2 tentang batas waktu pembayaran UKT secara penuh 1 semester atau gratis jika dapat lulus semester ini pada tahun ajaran 2019/2020 yang menjadikan masalah ketiga bagi Budi.

            Konseptual logisnya, Pertama, fasilitas yang budi dapatkan sebagai hak atas kewajiban yng telah ia gugurkan tidak ia dapat rasakan sepenuhnya, Budi tidak menghendaki akan hal itu namun Budi adalah WNI yang baik dan tunduk pada aturan Pemerintah. Kedua, tidak adanya kebijakan pengembalian rupiah atas kerugian waktu studi 1 semester Budi, padahal jika berlangsung normal, Budi telah menggugurkan kewajiban di awal untuk mendapatkan hak sepanjang waktu yang sudah ditentukan dan disetujui, yang ada hanya fasilitas kuota internet untuk chip tertentu di mana Budi tidak memerlukan itu. Ketiga, Budi melalui pola pikir kritis dan asas Pancasila yang sesuai dengan UU No.12 tahun 2012, menjadi bertanya-tanya, Pancasila yang mana? Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, rakyat yang mana? Lembaga Pendidikan yang diperbankankan? Atau perbankan berpendidikan? Kapitalisme!!



            Sebagian perguruan tinggi telah berbenah, dengan berbagai kebijakan pemerintah yang didukung oleh beberapa kebijakan antar lini yang secara langsung terdampak, khususnya dunia Pendidikan. Dikutip dari suarajogja, dua perguruan tinggi di Yogjakarta yaitu Universitas Muhammadiyah dan Universitas Ahmad Dahlan telah memberikan subsidi berupa pemotongan SPP untuk tahun ajaran 2020/2021.
            Hal tersebut merupakan representasi apik, di mana perguruan tinggi apabila diibaratkan sebagai pasar, telah menjaga trust konsumen untuk demand and supply yang lebih baik. Namun, dunia Pendidikan adalah wadah yang lebih mulia dari pasar, lebih kompleks jika dianalogikan seperti pasar, dan wadah yang memelihara keilmuan. Sudah seharusnya kebijakan-kebijakan yang diambil adalah buah dari apa yang disebut mutualistik, bersifat memelihara dan mengayomi, berasaskan keadilan bukan bagi satu pihak melainkan juga pihak yang lainnya secara menyeluruh.
            Kedudukan ilmu sangat mulia dihadapan agama, tidak seharusnya para penggerak keilmuan memunculkan gagasan-gagasan kapitalisme di dalamnya. Mengingat, Indonesia adalah pengekor dan pelaku modifikasi yang berasaskan serba Pancasila. Sudah seharusnya, ngaungan Pancasila melanda, menyentuh sisi-sisi yang berwujud humaniora dalam memberantas kapitalisme serta liberialisme. Tidak ada unsur baku dalam penulisan ini, tidak ada unsur yang bertentangan dengan ras, hukum dan agama dalam tulisan ini serta tidak bermaksud untuk menyudutkan satu pihak yang merasa tersudutkan dan senantiasa menjunjung etika menulis dalam hal plagiarism. Ini hanya opini, NKRI harga Mati.


Sesuap nasi takkau beri, Segelas airku kau nodai
Apalah daya insan nuraniku ini
Sepasang mata ke kanan, separuh hati ke kiri
Lantas apa prasangka bagi kami
Tuan tak tunduk
Peluh tak bergemuruh, atas apa?
Yang tertinggal, jejak-jejak manusia yang ingkar
Dengan sgala kebuasannya
Langit sudah menguning, dunia menua
2024 masih lama, siapa peduli sesama?
Lagi-lagi, pancasila
Ohh. . .Akulah, kaum yang berfikir nan merindu.



Komentar